Thursday, December 11, 2014

GADAI DAN BAGI HASIL TANAH PERTANIAN



  GADAI DAN BAGI HASIL TANAH PERTANIAN

I.                   GADAI TANAH PERTANIAN
          Dalam undang-undang no 5 tahun 1960 tentang peraturan dasar pokok agraria bagian penjelasannya dinyatakan bahwa pemakaian tanah atas dasar sewa, perjanjian bagi hasil, gadai dan sebagainya itu tidak boleh diserahkan pada persetujuan pihak-pihak yang berkepentingan sendiri atas dasar ‘ free fight’ akan tetepi penguasa akan memberi ketentuan-ketentuan tentang cara dan syarat-syaratnya, agar dapat memenuhi pertimbangan keadilan dan di cegah cara-cara pemerasan oleh karena itu muncullah undang-undang no 56 thn 1960.
Dalam hal gadai tanah pertanian , terdapat pengertian yang telah diberikan dalam peraturan perundng-undangan. Gadai tanah pertanian, dalam penjelasn undang-undang no 56 perpu tahun 1960 tentang penetapan dan luas tanah pertanian, disebutkan bahwa ynag dimaksud dengan gadai ialah hubungan antara seseorang dengan tanah kepunyaan orang lain, yang mempunyai hutang uang padanya. Selama hutang tersebut belum dibayar lunas maka tanah itu tetap berada dalam penguasaan yang meminjamkan uang tadi ( pemegang gadai) selama itu hasil tanah seluruhnya menjadi hak pemegang gadai, yang dengan demikian merupakan bunga dari hutang tersebut.
Pada undang-undang no 56 perpu tahun 1960 pasal 7 disebutkan bahwa,
1.     Barang siapa menguasai tanah pertanian dengan hak gadai yang pada waktu mulai berlakunya peraturan ini sudah berlangsung 7 tahun atau lebih wajib mengembalikan tanah itu kepada  pemiliknya dalam waktu sebulan setelh tanaman yang ada selesai yang di panen, dengan tidak ada hak untuk menuntut pembayaran uang tebusan.
2.     Mengenai hak gadai yang pada mulai berlakunya peraturan ini belum berlangsung tujuh tahun, maka pemilik tanahnya berhak untuk memintanya kembali setiap waktu setelah tanaman yang ada selesai dipanen, dengan membayar uang tebusan yang besarnya menurut rumus : ( 7 +1/2)- waktu berlangsung hak gadai dibagi 7 lalu dikali uang gadai. Dengan ketentuan bahwa sewktu-waktu hak gadai itu telah berlaku tujuh tahun maka pemegang gadai wajib mengembaliakn gadai tersebut tanpa pembayaran uang tebusan, dalam waktu sebulan setelah tanaman yang ada  selesai di panen.
3.     Ketentuan dalam ayat 2 pasal ini berlaku juga terhadap hak gadai yang diadakan sesudah mulai berlakunya peraturan ini.
Ketentuan bahwa tanah yang digadaikan selama tujuh tahun wajib dikembalikan tanpa membayar uang tebusan, dalam banyak kasus mahkamah agung telah memutuskan demikian,
Hal ini bisa dilihat pada putusan mahkamah agung no 38 k/sip/1961 tanggal 17-5-1976, dimna dapat diambil kaidah hukumannya, yakni bahwa walaupun dalam perkara ini yang digugatkan adalah tanah pekarangan dengan rumah diatasnya menurut mahkamah agung pasal 7 no 50/1960 dapat diperlakukan anolog sehingga pekarang dan rumah haruslah di kembaliakn kepada pemiliknya tanpa pemberian kerugain.
Begitu juga pada putusan mahkamah agung no. 903 k/sip/1972 tanggal 10-10-1974. Didapati  kaidah hukum bahwa istilah hak gadai yang dimuat dalam undang-undang 56 perpu 1960 pasal 7 adalah sama halnya dengan jual beli sende( sawah) tanah, oleh karenanya tanah tersebut dikembalikn tanpa uang tebusan.
Atau juga pada putusan mahkamah agung no. 1272 k/sip1973 tanggal 01-04-1975, dengan kaidah hukumannya yaitu undnag-undang no 56 perpu 1960 pasal 7 adalh bersifat memaksa yakni gadai tanah pertanian yang telah berlangsung 7 tahun atau lebih harus dikembaliakn kepada pemiliknya tanpa pembayaran uang tebusan hal ini tidak dapat dilemahkan karena telah diperjanjiakn oleh kedua belah pihak yang berperkara, karena hal itu betentangan dengan prinsip dengan lembaga gadai.

II.                 BAGI HASIL TANAH PERTANIAN

Perjanjian bagi hasil tanah pertanian dalam masyarakat Indonesia masih banyak dipergunakan, meskipun di dalam UUPA disebutkan bahwa bagi hasil tanah pertanian merupakan hak atas tanah yang bersifat sementara. Di dalam praktik, perjanjian bagi hasil dilakukan secara tidak tertulis, hanya secara lisan, tanpa sepengetahuan pejabat desa setempat. Begitu pula tentang perimbangan hasilnya. Masyarakat setempat lebih mengedepankan hukum adat setempat atau hukum kebiasaan. Pelaksanaan perjanjian bagi hasil yang seperti itu yang membuat UUPA memberikan sifat sementara kepada hak usaha bagi hasil tanah pertanian. Akan tetapi telah lahir peraturan tersendiri tentang perjanjian bagi hasil tanah pertanian, yaitu Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960 tentang perjanjian bagi hasil tanah pertanian beserta peraturan pelaksananya. Dengan demikian, terdapat perbedaan antara peraturan perundang-undangan dengan praktik yang terjadi di lapangan. Hal ini berdampak pada tata cara penyelesaian sengketa.

Apabila menggunakan hukum kebiasaan, maka penyelesaiannya juga lebih mengedepankan hukum kekeluargaan. Sedangkan tata cara penyelesaian sengketa yang diatur di dalam peraturan perundang-undangan tentang bagi hasil mengikutsertakan pejabat desa.
Yang dimkasud dengan perjanjian bagi hasil adalah perjanjian dengan nama apapun juga yang diadakan antara pemilik pada satu fihak dan seseorang atau badan hukum pada lain pihak  yang dalam undang-undang ini disebut penggarap  berdasarkan perjanjian mana penggarap diperkenankan oleh pemilik tersebut untuk menyelenggarakan usaha pertanian diatas tanah pemilik, dengan pembagian hasilnya antara kedua belah pihak, sesuai  dengan pasal 1 huruf c undang-undang no 2 tahun 1960 tentang perjanjian bagi hasil.
Perjanjian bagi hasil harus dilakukan di hadapan kepala desa dan disaksikan oleh dua orang saksi masing-masing dari pihak pemilik dan penggarap, dan disah kan oleh kepala camat atau yang sederajat kedudukannya.
    Jangka waktu perjanjian utntuk sawah sekurang-kurangnya tiga tahun dan untuk tanah kering sekurang-kurangnya lima tahun tapi Dalam hal-hal yang khusus yang ditetapkan oleh Menteri Muda Agraria, oleh Camat dapat diizinkan diadakannya perjanjian bagi-hasil dengan jangka waktu yang kurang dari apa yang ditetapkan bagi tanah yang biasanya diusahakan sendiri oleh yang mempunyainya.
Jika dalam berakhirnya perjanjian bagi hasil tanah yang bersangkutan masih terdapat tanaman yang belum dipanen maka perjanjian tersebut masih berlaku sampai tanaman itu dipanen. Dan apabila penggarap itu meninggal dunia maka pewarisnyalah yang akan melanjutkan dengan hak dan kewajiban yang sama.
Kewajiban pemilik dan penggarap dalam pasal 8 undang-undang no 2 tahun 1960 tentang perjanjian bagi hasil,
(1) Pembayaran uang atau pemberian benda apapun juga kepada pemilik yang dimaksudkan untuk memperoleh hak mengusahakan tanah pemilik dengan perjanjian bagi-hasil, dilarang.
(2) Pelanggaran terhadap larangan tersebut pada ayat 1 pasal ini berakibat, bahwa uang yang dibayarkan atau harga benda yang diberikan itu dikurangkan pada bagian pemilik dari hasil tanah termaksud dalam pasal 7.
(3) Pembayaran oleh siapapun, termasuk pemilik dan penggarap, kepada penggarap ataupun pemilik dalam bentuk apapun juga yang mempunyai unsur-unsur ijon, dilarang.
(4) Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana dalam pasal 15, maka apa yang dibayarkan tersebut pada ayat 3 diatas itu tidak dapat dituntut kembali dalam bentuk apapun juga.


No comments:

Post a Comment