Sunday, December 14, 2014

JENIS-JENISPEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA DALAM HUKUM KETENAGAKERJAAN






JENIS-JENIS PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA

Dalam literature hukum ketenagakerjaan, dikenal adanya beberapa jenis pemutusan hubungan kerja (PHK), yakni :

1. PHK oleh majikan/pengusaha;
PHK ini bisa terjadi karena hal-hal sebagai berikut
a.       PHK karena pekerja/buruh melakukan kesalahan berat (Pasal 158 ayat (4))                 

b.       PHK karena pekerja/buruh (setelah) ditahan pihak berwajib selama 6 (bulan) berturut-turut disebabkan melakukan tindak pidana di luar perusahaan (Pasal 160 ayat (3))

c.       . PHK setelah melalui SP (surat peringatan) I, II, dan III (Pasal 161 ayat (3))

d.      . PHK oleh pengusaha yang tidak bersedia lagi menerima pekerja/buruh (melanjutkan hubungan kerja) karena adanya perubahan status, penggabungan dan peleburan perusahaan (Pasal 163 ayat (2));

e.       . PHK karena perusahaan tutup (likuidasi) yang disebabkan bukan karena perusahaan mengalami kerugian (Pasal 164 ayat (2)).

f.       . PHK karena mangkir yang dikualifikasi mengundurkan diri (Pasal 168 ayat (3)).

g.       PHK atas pengaduan pekerja/buruh yang menuduh dan dilaporkan pengusaha (kepada pihak yang berwajib) melakukan “kesalahan” dan (ternyata) tidak benar (Pasal 169 ayat (3));

h.      . PHK karena pengusaha (orang-perorangan) meninggal dunia (Pasal 61 ayat (4));






2. PHK oleh pekerja/buruh;
PHK oleh pekerja/buruh bisa terjadi karena alasan sebagai berikut:
a.       PHK karena pekerja/buruh mengundurkan diri (Pasal 162 ayat (2));

b.       PHK karena pekerja/buruh tidak bersedia melanjutkan hubungan kerja disebabkan adanya perubahan status, penggabungan, peleburan dan perubahan kepemilikan perusahaan ( Pasal 163 ayat (1));
c.        PHK atas permohonan pekerja/buruh kepada lembaga PPHI karena pengusaha melakukan “kesalahan” dan (ternyata) benar (Pasal 169 ayat (2)).

d.       PHK atas permohonan P/B karena sakit berkepanjangan, mengalami cacat (total-tetap) akibat kecelakaan kerja (Pasal 172).
3. PHK demi hukum;
PHK demi hukum bisa terjadi dengan alasan/sebab sebagai berikut:
a.       PHK karena perusahaan tutup (likuidasi) yang disebabkan mengalami kerugian (Pasal 164 ayat (1)).

b.       PHK karena pekerja/buruh meninggal (Pasal 166) ;

c.        PHK karena memasuki usia pensiun (Pasal 167 ayat (5))

d.       PHK karena berakhirnya PKWT pertama (154 huruf b kalimat kedua)









4. PHK oleh pengadilan (PPHI)
PHK oleh Pengadilan bisa terjadi dengan alasan/sebab:
a.       PHK karena perusahaan pailit (berdasarkan putusan Pengadilan Niaga) (Pasal 165);

b.       PHK terhadap anak yang tidak memenuhi syarat untuk bekerja yang digugat melalui lembaga PPHI (Pasal 68)

c.        PHK karena berakhirnya PK (154 huruf b kalimat kedua)


Thursday, December 11, 2014

GADAI DAN BAGI HASIL TANAH PERTANIAN



  GADAI DAN BAGI HASIL TANAH PERTANIAN

I.                   GADAI TANAH PERTANIAN
          Dalam undang-undang no 5 tahun 1960 tentang peraturan dasar pokok agraria bagian penjelasannya dinyatakan bahwa pemakaian tanah atas dasar sewa, perjanjian bagi hasil, gadai dan sebagainya itu tidak boleh diserahkan pada persetujuan pihak-pihak yang berkepentingan sendiri atas dasar ‘ free fight’ akan tetepi penguasa akan memberi ketentuan-ketentuan tentang cara dan syarat-syaratnya, agar dapat memenuhi pertimbangan keadilan dan di cegah cara-cara pemerasan oleh karena itu muncullah undang-undang no 56 thn 1960.
Dalam hal gadai tanah pertanian , terdapat pengertian yang telah diberikan dalam peraturan perundng-undangan. Gadai tanah pertanian, dalam penjelasn undang-undang no 56 perpu tahun 1960 tentang penetapan dan luas tanah pertanian, disebutkan bahwa ynag dimaksud dengan gadai ialah hubungan antara seseorang dengan tanah kepunyaan orang lain, yang mempunyai hutang uang padanya. Selama hutang tersebut belum dibayar lunas maka tanah itu tetap berada dalam penguasaan yang meminjamkan uang tadi ( pemegang gadai) selama itu hasil tanah seluruhnya menjadi hak pemegang gadai, yang dengan demikian merupakan bunga dari hutang tersebut.
Pada undang-undang no 56 perpu tahun 1960 pasal 7 disebutkan bahwa,
1.     Barang siapa menguasai tanah pertanian dengan hak gadai yang pada waktu mulai berlakunya peraturan ini sudah berlangsung 7 tahun atau lebih wajib mengembalikan tanah itu kepada  pemiliknya dalam waktu sebulan setelh tanaman yang ada selesai yang di panen, dengan tidak ada hak untuk menuntut pembayaran uang tebusan.
2.     Mengenai hak gadai yang pada mulai berlakunya peraturan ini belum berlangsung tujuh tahun, maka pemilik tanahnya berhak untuk memintanya kembali setiap waktu setelah tanaman yang ada selesai dipanen, dengan membayar uang tebusan yang besarnya menurut rumus : ( 7 +1/2)- waktu berlangsung hak gadai dibagi 7 lalu dikali uang gadai. Dengan ketentuan bahwa sewktu-waktu hak gadai itu telah berlaku tujuh tahun maka pemegang gadai wajib mengembaliakn gadai tersebut tanpa pembayaran uang tebusan, dalam waktu sebulan setelah tanaman yang ada  selesai di panen.
3.     Ketentuan dalam ayat 2 pasal ini berlaku juga terhadap hak gadai yang diadakan sesudah mulai berlakunya peraturan ini.
Ketentuan bahwa tanah yang digadaikan selama tujuh tahun wajib dikembalikan tanpa membayar uang tebusan, dalam banyak kasus mahkamah agung telah memutuskan demikian,
Hal ini bisa dilihat pada putusan mahkamah agung no 38 k/sip/1961 tanggal 17-5-1976, dimna dapat diambil kaidah hukumannya, yakni bahwa walaupun dalam perkara ini yang digugatkan adalah tanah pekarangan dengan rumah diatasnya menurut mahkamah agung pasal 7 no 50/1960 dapat diperlakukan anolog sehingga pekarang dan rumah haruslah di kembaliakn kepada pemiliknya tanpa pemberian kerugain.
Begitu juga pada putusan mahkamah agung no. 903 k/sip/1972 tanggal 10-10-1974. Didapati  kaidah hukum bahwa istilah hak gadai yang dimuat dalam undang-undang 56 perpu 1960 pasal 7 adalah sama halnya dengan jual beli sende( sawah) tanah, oleh karenanya tanah tersebut dikembalikn tanpa uang tebusan.
Atau juga pada putusan mahkamah agung no. 1272 k/sip1973 tanggal 01-04-1975, dengan kaidah hukumannya yaitu undnag-undang no 56 perpu 1960 pasal 7 adalh bersifat memaksa yakni gadai tanah pertanian yang telah berlangsung 7 tahun atau lebih harus dikembaliakn kepada pemiliknya tanpa pembayaran uang tebusan hal ini tidak dapat dilemahkan karena telah diperjanjiakn oleh kedua belah pihak yang berperkara, karena hal itu betentangan dengan prinsip dengan lembaga gadai.

II.                 BAGI HASIL TANAH PERTANIAN

Perjanjian bagi hasil tanah pertanian dalam masyarakat Indonesia masih banyak dipergunakan, meskipun di dalam UUPA disebutkan bahwa bagi hasil tanah pertanian merupakan hak atas tanah yang bersifat sementara. Di dalam praktik, perjanjian bagi hasil dilakukan secara tidak tertulis, hanya secara lisan, tanpa sepengetahuan pejabat desa setempat. Begitu pula tentang perimbangan hasilnya. Masyarakat setempat lebih mengedepankan hukum adat setempat atau hukum kebiasaan. Pelaksanaan perjanjian bagi hasil yang seperti itu yang membuat UUPA memberikan sifat sementara kepada hak usaha bagi hasil tanah pertanian. Akan tetapi telah lahir peraturan tersendiri tentang perjanjian bagi hasil tanah pertanian, yaitu Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960 tentang perjanjian bagi hasil tanah pertanian beserta peraturan pelaksananya. Dengan demikian, terdapat perbedaan antara peraturan perundang-undangan dengan praktik yang terjadi di lapangan. Hal ini berdampak pada tata cara penyelesaian sengketa.

Apabila menggunakan hukum kebiasaan, maka penyelesaiannya juga lebih mengedepankan hukum kekeluargaan. Sedangkan tata cara penyelesaian sengketa yang diatur di dalam peraturan perundang-undangan tentang bagi hasil mengikutsertakan pejabat desa.
Yang dimkasud dengan perjanjian bagi hasil adalah perjanjian dengan nama apapun juga yang diadakan antara pemilik pada satu fihak dan seseorang atau badan hukum pada lain pihak  yang dalam undang-undang ini disebut penggarap  berdasarkan perjanjian mana penggarap diperkenankan oleh pemilik tersebut untuk menyelenggarakan usaha pertanian diatas tanah pemilik, dengan pembagian hasilnya antara kedua belah pihak, sesuai  dengan pasal 1 huruf c undang-undang no 2 tahun 1960 tentang perjanjian bagi hasil.
Perjanjian bagi hasil harus dilakukan di hadapan kepala desa dan disaksikan oleh dua orang saksi masing-masing dari pihak pemilik dan penggarap, dan disah kan oleh kepala camat atau yang sederajat kedudukannya.
    Jangka waktu perjanjian utntuk sawah sekurang-kurangnya tiga tahun dan untuk tanah kering sekurang-kurangnya lima tahun tapi Dalam hal-hal yang khusus yang ditetapkan oleh Menteri Muda Agraria, oleh Camat dapat diizinkan diadakannya perjanjian bagi-hasil dengan jangka waktu yang kurang dari apa yang ditetapkan bagi tanah yang biasanya diusahakan sendiri oleh yang mempunyainya.
Jika dalam berakhirnya perjanjian bagi hasil tanah yang bersangkutan masih terdapat tanaman yang belum dipanen maka perjanjian tersebut masih berlaku sampai tanaman itu dipanen. Dan apabila penggarap itu meninggal dunia maka pewarisnyalah yang akan melanjutkan dengan hak dan kewajiban yang sama.
Kewajiban pemilik dan penggarap dalam pasal 8 undang-undang no 2 tahun 1960 tentang perjanjian bagi hasil,
(1) Pembayaran uang atau pemberian benda apapun juga kepada pemilik yang dimaksudkan untuk memperoleh hak mengusahakan tanah pemilik dengan perjanjian bagi-hasil, dilarang.
(2) Pelanggaran terhadap larangan tersebut pada ayat 1 pasal ini berakibat, bahwa uang yang dibayarkan atau harga benda yang diberikan itu dikurangkan pada bagian pemilik dari hasil tanah termaksud dalam pasal 7.
(3) Pembayaran oleh siapapun, termasuk pemilik dan penggarap, kepada penggarap ataupun pemilik dalam bentuk apapun juga yang mempunyai unsur-unsur ijon, dilarang.
(4) Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana dalam pasal 15, maka apa yang dibayarkan tersebut pada ayat 3 diatas itu tidak dapat dituntut kembali dalam bentuk apapun juga.


CONTOH SURAT GUGATAN

 Cntoh surat gugatan hukum acara perdata
 Bagi ada yang bingung gimana membuat surat gugatan, ni ane posting contoh surat gugatan jika menggunakan menggunakan advocat atau pengacara.
contoh surat gugatan
Praya, 22 november 2014
Kepada Yang Terhormat
Ketua Pengadilan Negeri Praya
Di
    Praya
Hal: Gugatan Perbuatan Melawan Hukum Tanpa Hak Pengosongan Tuntutan Ganti Rugi

Dengan Hormat
Kami yang bertanda tangan dibawah:
Nama :
1.Saefudin, SH, M.Hum
2. Rusni, MF, S.Sy, MH
3.Dedi Susanto, SH
Pekerjaan : Advokat, Pengacara, dan Konsultan Hukum
Alamat : Jl. Diponegoror no 08 Pringgarata, Lombok Tengah, 53422
Berdasarkan surat kuasa tertanggal 06 Oktober 2014 dalam hal ini bertindak untuk dan atas nama klien kami yang bernama Zaenudin, Pekerjaan wiraswasta, alamat Jl .Diponegoro no 06 Pringgarata, Lombok Tengah, selanjutnya mohon disebut sebagai: PENGGUGAT.
Dengan ini mengajukan gugatan kepada: Sapriadi, pekerjaan swasta, beralamat di obyek sengketa yaitu Desa Arjangka Kecamatan Pringgarata, Lombok Tengah : TERGUGAT.

Adapun gugatan ini kami ajukan berdasarkan dalil-dalil sebagai berikut:
  1. Bahwa penggugat adalah pemilik sah sebidang tanah yang terletak di Didesa Arjangka Kecamatan Pringgarata, Lombok Tengah, sebagaimana tercatat dalam sertifikat hak milik nomor 297/ckd seluas 132 M2, teratas nama Zaenudin (Penggugat), dengan batas-batas sebagai berikut:
Sebelah utara : Rumah Pak Anto Subrata
Sebelah timur : Kebun Pak Septian
Sebelah selatan : Jalan Kampung
Sebelah barat : Kantor Desa Arjangka;
  1. Bahwa terhadap tanah obyek sengketa sebagaimana Posita nomor 1 di atas kurang lebih pada tahun 1940 tanpa seizin dan sepengetahuan Penggugat telah dikuasai secara tidak sah dan melawan hukum oleh orang tua Tergugat (almarhum Mashuri);
  2. Bahwa setelah orang tua Tergugat meninggal dunia, penempatan dan penguasaan tanpa hak atas obyek sengketa tersebut dilanjutkan tergugat, hal tersebut dilakukan oleh Tergugat tanpa seizin dan sepengetahuan Penggugat;
  3. Bahwa terhadap penguasaan secara tidak sah dan melawan hukum yang dilakukan oleh Tergugat tersebut telah diperingatkan oleh Penggugat untuk dikembalikan kepada Penggugat dalam keadaan kosong, akan tetapi peringatan tersebut tidak pernah mendapatkan tanggapan yang sesuai dari Tergugat dan bahkan Tergugat cenderung untuk tetap menguasai obyek sengketa secara terus menerus dan melawan hukum;
  4. Bahwa terhadap penguasaan obyek sengketa tersebut tanpa sepengetahuan dan seizin Penggugat ternyata telah dikontrakkan/disewakan kepada orang lain;
  5. Bahwa oleh karena perbuatan menguasai obyek sengketa secara tidak sah dan tanpa hak tersebut adalah perbuatan melawan hukum maka sudah sepantasnyalah apabila Tergugat dihukum untuk menyerahkan obyek sengketa kepada Penggugat dalam keadaan kosong tanpa beban apapun baik dari tangannya atau tangan orang lain yang diperoleh karena izinya;
  6. Bahwa dikarenakan perbuatan yang dilakukan oleh Tergugat tersebut adalah menyatakan perbuatan melawan hukum dan menyebabkan kerugian bagi Penggugat karena Penggugat tidak dapat menguasai dan menikmati obyek sengketa sejak tahun 1940, maka sudah sepantasnya kalau Tergugat dihukum untuk membayar ganti kerugian kepada Pengugat;
  7. Bahwa kerugian sebagaimana tersebut dalam posita nomor 7 diatas adalah sebesar Rp. 151.500.000,00 (seratus lima puluh satu juta lima ratus ribu rupiah) dengan perincian sebagai berikut:
a. Penggugat tidak dapat menikmati dan menguasai obyek sengketa sejak tahun 1940 hingga gugatan ini diajukan, yakni apabila obyek sengketa tersebut disewakan sebesar Rp. 1.500.000,00 (satu juta lima ratus ribu rupiah) per tahun x 61 tahun = Rp. 91.500.000,00 (sembilan puluh satu juta lima ratus ribu rupiah;
b. Biaya pengosongan obyek sengketa Rp/ 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah);
c. Kerugian inmateril Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah);
  1. Bahwa dikarenakan gugatan ini diajukan dengan disertai bukti-bukti yang otentik, maka sesuai dengan pasal 180 HIR segala penetapan dan putusan pengadilan dalam perkara ini dengan putusan dapat dijalankan (dilaksanakan) terlebih dahulu Uitvoerbaar Bij Voorraad meskipun ada upaya hukum dari Tergugat;
  2. Bahwa untuk menjamin pelaksanaan isi putusan perkara ini maka perlu adanya penyitaan terlebih dahulu terhadap seluruh harta kekayaan Tergugat baik yang berupa barang tetap maupun barang bergerak yang jenis dan jumlahnya akan kami ajukan di kemudian hari;
  3. Bahwa sebelum gugatan diajukan Penggugat telah berulang kali mengajak tergugat untuk menyelesaikan perkara ini secara musyawarah kekeluargaan, akan tetapi Tergugat tidak pernah menanggapi secara serius bahkan cenderung tidak mau menyelesaikan masalah ini;
  4. Bahwa oleh Tergugat tidak pernah serius untuk menyelesaikan, maka tiada jalan lain kecuali menyerahkan perkara ini kepada Pengadilan Negeri Yogyakarta untuk memeriksa, dan memutuskan perkara ini






Berdasarkan dalil-dalil tersebut di atas maka kami mohon kepada yang terhormat Ketua Pengadilan Negeri Yogyakarta untuk memeriksa, mengadili, dan memberikan putusan sebagai berikut:

PRIMAIR
  1. Menerima dan mengabulkan gugatan penggugat untuk sepenuhnya;
  2. Menyatakan secara sah dan berharga sita jaminan terhadap barang milik Tergugat, baik barang tetap maupun barang bergerak yang jenis dan jumlahnya akan di hentikan kemudian;
  3. Menyatakan bahwa Tergugat telah melakukan Perbuatan Melawan Hukum;
  4. Menghukum kepada Tergugat untuk menyerahkan obyek sengketa kepada Penggugat dalam keadaan kosong tanpa beban yang menyertai baik dari tangannya maupun dari tangan orang lain atas izinnya, bila perlu secara paksa dengan bantuan aparat kepolisian;
  5. Menghukum kepada Tergugat untuk membayar ganti kerugian kepada Penggugat sebesar Rp. 151.500.00,00 (seratus lima pulub satu juta lima ratus ribu rupiah);
  6. Menyatakan secara hukum bahwa putusan perkara ini dapat dilaksanakan terlebih dahulu meskipun ada upaya hukum lain dari Tergugat;
  7. Menghukum kepada tergugat untuk membayar seluruh biaya yang timbul dalam perkara ini.
SUBSIDAIR
Mohon putusan yang seadil-adilnya

Demikian gugatan ini kami sampaikan atas dikabulkannya gugatan kami ini ducapkan terima kasih.

Hormat Kami
Kuasa Hukum Penggugat Tersebut

Saefudin, SH, M.Hum
Rusni MF, S.Sy, MH
Dedi Susanto, SH