GADAI DAN BAGI HASIL TANAH PERTANIAN
I.
GADAI TANAH PERTANIAN
Dalam
undang-undang no 5 tahun 1960 tentang peraturan dasar pokok agraria bagian
penjelasannya dinyatakan bahwa pemakaian tanah atas dasar sewa, perjanjian bagi
hasil, gadai dan sebagainya itu tidak boleh diserahkan pada persetujuan
pihak-pihak yang berkepentingan sendiri atas dasar ‘ free fight’ akan tetepi
penguasa akan memberi ketentuan-ketentuan tentang cara dan syarat-syaratnya,
agar dapat memenuhi pertimbangan keadilan dan di cegah cara-cara pemerasan oleh
karena itu muncullah undang-undang no 56 thn 1960.
Dalam hal gadai tanah pertanian , terdapat
pengertian yang telah diberikan dalam peraturan perundng-undangan. Gadai tanah
pertanian, dalam penjelasn undang-undang no 56 perpu tahun 1960 tentang
penetapan dan luas tanah pertanian, disebutkan bahwa ynag dimaksud dengan gadai
ialah hubungan antara seseorang dengan tanah kepunyaan orang lain, yang
mempunyai hutang uang padanya. Selama hutang tersebut belum dibayar lunas maka
tanah itu tetap berada dalam penguasaan yang meminjamkan uang tadi ( pemegang
gadai) selama itu hasil tanah seluruhnya menjadi hak pemegang gadai, yang
dengan demikian merupakan bunga dari hutang tersebut.
Pada undang-undang no 56 perpu tahun 1960 pasal 7
disebutkan bahwa,
1. Barang
siapa menguasai tanah pertanian dengan hak gadai yang pada waktu mulai
berlakunya peraturan ini sudah berlangsung 7 tahun atau lebih wajib
mengembalikan tanah itu kepada
pemiliknya dalam waktu sebulan setelh tanaman yang ada selesai yang di
panen, dengan tidak ada hak untuk menuntut pembayaran uang tebusan.
2. Mengenai
hak gadai yang pada mulai berlakunya peraturan ini belum berlangsung tujuh
tahun, maka pemilik tanahnya berhak untuk memintanya kembali setiap waktu
setelah tanaman yang ada selesai dipanen, dengan membayar uang tebusan yang
besarnya menurut rumus : ( 7 +1/2)- waktu berlangsung hak gadai dibagi 7 lalu
dikali uang gadai. Dengan ketentuan bahwa sewktu-waktu hak gadai itu telah
berlaku tujuh tahun maka pemegang gadai wajib mengembaliakn gadai tersebut
tanpa pembayaran uang tebusan, dalam waktu sebulan setelah tanaman yang
ada selesai di panen.
3. Ketentuan
dalam ayat 2 pasal ini berlaku juga terhadap hak gadai yang diadakan sesudah
mulai berlakunya peraturan ini.
Ketentuan bahwa tanah yang digadaikan selama tujuh
tahun wajib dikembalikan tanpa membayar uang tebusan, dalam banyak kasus
mahkamah agung telah memutuskan demikian,
Hal ini bisa dilihat pada putusan mahkamah agung no
38 k/sip/1961 tanggal 17-5-1976, dimna dapat diambil kaidah hukumannya, yakni
bahwa walaupun dalam perkara ini yang digugatkan adalah tanah pekarangan dengan
rumah diatasnya menurut mahkamah agung pasal 7 no 50/1960 dapat diperlakukan anolog
sehingga pekarang dan rumah haruslah di kembaliakn kepada pemiliknya tanpa
pemberian kerugain.
Begitu juga pada putusan mahkamah agung no. 903 k/sip/1972
tanggal 10-10-1974. Didapati kaidah
hukum bahwa istilah hak gadai yang dimuat dalam undang-undang 56 perpu 1960
pasal 7 adalah sama halnya dengan jual beli sende( sawah) tanah, oleh karenanya
tanah tersebut dikembalikn tanpa uang tebusan.
Atau juga pada putusan mahkamah agung no. 1272
k/sip1973 tanggal 01-04-1975, dengan kaidah hukumannya yaitu undnag-undang no
56 perpu 1960 pasal 7 adalh bersifat memaksa yakni gadai tanah pertanian yang
telah berlangsung 7 tahun atau lebih harus dikembaliakn kepada pemiliknya tanpa
pembayaran uang tebusan hal ini tidak dapat dilemahkan karena telah
diperjanjiakn oleh kedua belah pihak yang berperkara, karena hal itu
betentangan dengan prinsip dengan lembaga gadai.
II.
BAGI HASIL TANAH PERTANIAN
Perjanjian bagi hasil
tanah pertanian dalam masyarakat Indonesia masih banyak dipergunakan, meskipun
di dalam UUPA disebutkan bahwa bagi hasil tanah pertanian merupakan hak atas
tanah yang bersifat sementara. Di dalam praktik, perjanjian bagi hasil
dilakukan secara tidak tertulis, hanya secara lisan, tanpa sepengetahuan
pejabat desa setempat. Begitu pula tentang perimbangan hasilnya. Masyarakat
setempat lebih mengedepankan hukum adat setempat atau hukum kebiasaan.
Pelaksanaan perjanjian bagi hasil yang seperti itu yang membuat UUPA memberikan
sifat sementara kepada hak usaha bagi hasil tanah pertanian. Akan tetapi telah
lahir peraturan tersendiri tentang perjanjian bagi hasil tanah pertanian, yaitu
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960 tentang perjanjian bagi hasil tanah pertanian
beserta peraturan pelaksananya. Dengan demikian, terdapat perbedaan antara
peraturan perundang-undangan dengan praktik yang terjadi di lapangan. Hal ini
berdampak pada tata cara penyelesaian sengketa.
Apabila menggunakan hukum kebiasaan, maka penyelesaiannya juga lebih mengedepankan hukum kekeluargaan. Sedangkan tata cara penyelesaian sengketa yang diatur di dalam peraturan perundang-undangan tentang bagi hasil mengikutsertakan pejabat desa.
Apabila menggunakan hukum kebiasaan, maka penyelesaiannya juga lebih mengedepankan hukum kekeluargaan. Sedangkan tata cara penyelesaian sengketa yang diatur di dalam peraturan perundang-undangan tentang bagi hasil mengikutsertakan pejabat desa.
Yang dimkasud dengan
perjanjian bagi hasil adalah perjanjian dengan nama apapun
juga yang diadakan antara pemilik pada satu fihak dan seseorang atau badan
hukum pada lain pihak yang dalam
undang-undang ini disebut penggarap
berdasarkan perjanjian mana penggarap diperkenankan oleh pemilik
tersebut untuk menyelenggarakan usaha pertanian diatas tanah pemilik, dengan
pembagian hasilnya antara kedua belah pihak, sesuai dengan pasal 1 huruf c undang-undang no 2
tahun 1960 tentang perjanjian bagi hasil.
Perjanjian bagi hasil harus dilakukan di hadapan
kepala desa dan disaksikan oleh dua orang saksi masing-masing dari pihak
pemilik dan penggarap, dan disah kan oleh kepala camat atau yang sederajat
kedudukannya.
Jangka waktu perjanjian utntuk sawah
sekurang-kurangnya tiga tahun dan untuk tanah kering sekurang-kurangnya lima
tahun tapi Dalam hal-hal yang khusus yang ditetapkan oleh Menteri Muda Agraria, oleh
Camat dapat diizinkan diadakannya perjanjian bagi-hasil dengan jangka waktu
yang kurang dari apa yang ditetapkan bagi tanah yang biasanya diusahakan
sendiri oleh yang mempunyainya.
Jika dalam berakhirnya perjanjian
bagi hasil tanah yang bersangkutan masih terdapat tanaman yang belum dipanen
maka perjanjian tersebut masih berlaku sampai tanaman itu dipanen. Dan apabila
penggarap itu meninggal dunia maka pewarisnyalah yang akan melanjutkan dengan
hak dan kewajiban yang sama.
Kewajiban pemilik dan penggarap
dalam pasal 8 undang-undang no 2 tahun 1960 tentang perjanjian bagi hasil,
(1) Pembayaran uang atau pemberian benda apapun juga kepada pemilik yang
dimaksudkan untuk memperoleh hak mengusahakan tanah pemilik dengan perjanjian
bagi-hasil, dilarang.
(2) Pelanggaran terhadap larangan tersebut pada ayat 1 pasal ini berakibat,
bahwa uang yang dibayarkan atau harga benda yang diberikan itu dikurangkan pada
bagian pemilik dari hasil tanah termaksud dalam pasal 7.
(3) Pembayaran oleh siapapun, termasuk pemilik dan penggarap, kepada
penggarap ataupun pemilik dalam bentuk apapun juga yang mempunyai unsur-unsur
ijon, dilarang.
(4) Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana dalam pasal 15, maka apa yang
dibayarkan tersebut pada ayat 3 diatas itu tidak dapat dituntut kembali dalam
bentuk apapun juga.
No comments:
Post a Comment